Jumat, 27 Februari 2015

al-Quran sebagai Hujjah

AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH
1)   Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara qara-a ( قرأ ) sewazan dengan kata fu’laan ( فعلان ), artinya; bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء , yaitu isim maf’ul (objek) dari .قرأ Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75) : 17-18.
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
 “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaan itu”.
Kata Qur’an digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam yang berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an sebagimana firman Allah dalam surat al-Isra 17 : 9 :
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (9)
 “Sesungguhnya atas tanggungan kami menyampaikannya dan membacanya apabila kami selesai membacanya maka ikutilah membacanya”.
Al-Qur’an disebut juga al kitab sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah. 2
“Kitab al-qur’ an itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Kitab Al-Qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan defenisi sebagai berikut:
·         Menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
·         Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an dengan : kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushhaf, dinukilkan secara mutawatir.
·         Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah : kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
·         Menurut al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah : kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., ditulis dalam mushhaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
·         Al-Amidi memberikan ta’rif Al-Qur’an : al-kitab adalah Al-Qur’an yang diturunkan
·         Ibn Subki mendefenisikan Al-Qur’an : lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya.
Disamping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa defenisi Al-Qur’an di atas, yaitu:
ü  Kata-kata “mengandung mu’jizat setiap suratnya”, memberi penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur’an mengandung daya mu’jizat. Oleh karena itu hadits tidak mengandung daya mu’jizat.
ü  Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bahwa dengan membacA Al-Qur’an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat pahala. Karenanya membaca hadits qudsi yang tidak mengandung daya ibadah seperti Al-Qur’an, tidak dapat disebut Al-Qur’an.
ü  Kata-kata tertulis dalam mushhaf (dalam defenisi Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushhaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut Al-Qur’an.

2)   Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya al-Qur’an kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya adalah:
1.   Sebagai hudan ( هدى ) atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, lebih dari 79 ayat, umpamanya pada surat al-Baqarah (2): 2:
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
2.   Sebagai rahmat ( رحمة ) atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya. Al-Qur’an sebagai rahmat untuk umat manusia ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam al-Qur’an, umpamanya pada surat Luqman (31): 2-3:
تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ (2) هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ (3)
“Inilah ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”.
3.   Sebagai Furqan ( فرقان ) yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk; yang halal dengan yang haram; yang salah dan yang benar; yang indah dan yang jelek; yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan.
4.   Sebagai alat pemisah ini terdapat dalam 7 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-Baqarah (2): 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“Bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil).
5.   Sebagai mau’izhah ( موعظة ) atau pengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi mau’izhah ini terdapat setidaknya dalam 5 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-A’raf (7): 145:
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ (145)
 “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lul-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu”.
6.   Sebagai busyra ( بشرى ) yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia. Fungsi busyra itu terdapat dalam sekitar 8 ayat al-Qur’an, seperti pada surat al-Naml (27):1-2:
طس تِلْكَ آَيَاتُ الْقُرْآَنِ وَكِتَابٍ مُبِينٍ (1) هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2)
 “Tha-siin. (Surat) ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman”.

3)   Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan. Suruhan atau perintah menunjukkan keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat An-Nisa (4): 77:
 “Laksanakanlah shalat”.

4)   Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum
Ayat-ayat al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imram (3):7, yaitu: secara muhkam dan mutasyabih.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
 “Dialah yang menurunkan Al Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat”.
·         Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
·         Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
ü  Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama. Umpamanya kata quru’ ( قروء ) dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2):228 yang berarti suci atau haid. Kata ‘uqdat al-nikah ( النكاح عقدة ) dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2): 237 mengandung arti wali atau isteri. Kata-kata لمستم dalam firman Allah pada surat an-Nisa (4):43 dapat berarti “bersentuh kulit” dan dapat pula berarti “bersetubuh”.
ü  Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT, padahal Allah SWT tidak sama dengan makhluk-Nya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah (al-Rahman (55):27) dan penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (Yunus (10):3).
Ulama yang menolak bentuk ungkapan yang mengandung arti penyamaan Tuhan dengan manusia, berusaha menta’wilkan atau mengalihkan arti lahir dari ayat mutasyabihat tersebut kepada arti lain, seperti kata “Wajah Allah” diartikan “Dzat Allah” dan “Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan ta’wil, tetap mengartikan ayat mutasyabihat itu menurut apa adanya. Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
a)    Secara Juz’i (terperinci).
Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa (4):11 dan 12.
Tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur (24):4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamat.
b)   Secara Kulli (global).
Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain.
Disamping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
c)    Secara Isyarah.
Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
 “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Ayat tersebut mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi isterinya. Tetapi dibalik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya kemaungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya.

5)   Hukum Yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan defenisi hukum syara’ sebagimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya. Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
ü  Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang ahrus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
ü  Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dala kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
ü  Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam benyuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1.   Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.

2.   Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar